ILMU SEMANTIK
Oleh
Rischa Dyah Aprilia
ABSTRAK
Semantik merupakan bidang yang bersifat bebas
konteks (independent context), sedangkan pragmatik bersifat terikat dengan
konteks (dependent context). Hal ini dapat dijelaskan pada contoh ketika makna
kata ‘belakang’ dikaji secara semantik, ia tidak memperhatikan konteksnya
bagaimana (independent context), ia hanya dikaji berdasarkan makna yang
terdapat dalam kamus. Namun, ketika kata ‘belakang’ dikaji dengan pragmatik,
konteks siapa yang berbicara, kepada siapa orang itu berbicara, bagaimana
keadaan si pembicara, kapan, di mana, dan apa tujuannya ini sangat
diperhatikan, sehingga maksud si pembicara dapat dimengerti oleh orang-orang di
sekitarnya.
Jadi, makna kata ‘belakang’ dalam contoh tadi tidak
dapat dijelaskan secara semantik, hanya bisa dijelaskan secara pragmatik. Maka
dari itulah dinyatakan bahwa kajian makna pragmatik berada di luar jangkauan
semantik.
Kata
kunci: simantik, pragmatik, kajian, bentuk, makna dan konteks.
1.
Pendahuluan
Menurut
Katz (1971:3) semantik adalah studi tentang makna bahasa. Sementara itu
semantik menurut Kridalaksana dalam Kamus Linguistik adalah bagian struktur
bahasa yang berhubungan dengan makna ungkapan dan juga dengan struktur makna
suatu wicara. Secara singkat, semantik
ini mengkaji tata makna secara formal (bentuk) yang tidak dikaitkan dengan
konteks. Akan tetapi, ternyata ilmu yang mempelajari atau mengkaji
makna ini tidak hanya semantik, ada juga pragmatik. Untuk membedakannya,
berikut ini ada beberapa poin yang mudah untuk diingat dan dapat dengan jelas
membedakan semantik dengan pragmatik.
Sifat
kajian dalam semantik adalah diadic relation (hubungan dua arah), hanya
melibatkan bentuk dan makna. Sifat kajian dalam pragmatik adalah triadic
relation (hubungan tiga arah), yaitu melibatkan bentuk, makna, dan konteks.
Semantik
diatur oleh kaidah kebahasaan (tatabahasa), sedangkan pragmatik dikendalikan
oleh prinsip komunikasi. Jadi, kajian makna dalam semantik lebih objektif
daripada pragmatik, karena hanya memperhatikan makna tersebut sesuai dengan
makna yang terdapat dalam leksemnya. Kajian makna pragmatik dapat dikatakan
lebih subjektif, karena mengandung konteks/memperhatikan konteks. Dan setiap
orang pasti mempunyai makna sendiri sesuai dengan konteks yang dipandangnya.
Semantik
merupakan bidang yang bersifat bebas konteks (independent context), sedangkan
pragmatik bersifat terikat dengan konteks (dependent context).
2.
Rumusan
Masalah
a.
Apa saja jenis
semantik?
b.
Bagaimana kaidah umum
semantik?
c.
Bagaimana sebab
penamaan dalam ilmu semantik?
d.
Apa itu aspek makna
dalam ilmu semantik?
3.
Tujuan
penelitian
a. Mendapatkan
pengetahuan tentang ilmu semantik.
b. Memahami
dan mengenal tentang ilmu semantik.
c. Memperoleh
informasi tentang kaidah umum, sebab penamaan dan aspek makna dalam ilmu
semantik.
4.
Metode
Penelitian
Penelitian
ini merupakan jenis penelitian kualitatif-deskriptif. Penelitian ini dilakukan
dengan tiga tahapan, yaitu penyediaan atau pengumpulan data, klasifikasi dan
analisis data dan serta penyajian hasil analisis data.
5.
Hasil
Pembahasan
A. Jenis
Semantik
Penjelasan gambar di
bawah ini sebagai berikut:
Kalau
objek kajian semantiknya adalah makna-makna gramatikal, maka jenis semantik ini
disebut SEMANTIK GRAMATIKAL. Jenis semantik ini mengkaji satuan-satuan
gramatikal yang terdiri atas sintaksis dan morfologi.
1. Konteks
morfologi
Kata ‘sepatu’ akan
memiliki makna yang berbeda setelah mengalami proses morfologis, misalnya
dengan afiksasi menjadi ‘bersepatu’.
2. Konteks
sintaksis
Di kebun binatang ada
enam ekor beruang.
Hanya orang yang
beruang yang dapat membeli rumah itu.
Perbedaan makna
‘beruang’ pada kalimat pertama dan kedua itu terjadi karena adanya perbedaan
konteks kalimat yang dimasuki kata-kata tersebut.
Pada fonologi tidak ada
semantiknya, atau dengan kata lain fonologi tidak termasuk dalam jenis-jenis
semantik karena fonologi hanya mampu membedakan makna kata dengan perbedaan
bunyi.
Kalau objek kajian
semantiknya leksikon (kosa kata) dari suatu bahasa, maka jenis semantiknya
dinamakan SEMANTIK LEKSIKAL. Kajian semantik leksikal ini adalah makna utuh
yang terdapat pada masing-masing leksikon tanpa terpengaruh proses apapun
(proses morfologi maupun sintaksis).
Dikatakan SEMANTIK
WACANA kalau objek kajiannya adalah wacana. Tugas jenis semantik ini adalah
mengkaji makna wacana. Pemaknaan suatu wacana tidak terlepas dari pola berpikir
yang runtut dan logis.
B. Kaidah
Umum Semantik
1. Hubungan
antara leksem dengan acuannya bersifat arbitrer. Contoh: kata ‘kursi’ dengan media
(yang sekarang kita ketahui wujudnya dan dinamakan kursi) itu tidak bersifat
mutlak, tetapi arbitrer. Tidak ada alasan kenapa media tersebut dinamakan
‘kursi’.
2. Kajian
waktunya ada yang sinkronik (melihat makna dalam kurun waktu tertentu, sehingga
maknanya bersifat tetap, tidak mengalami perubahan baik dulu maupun sekarang)
dan diakronik (melihat makna dalm kurun waktu panjang, sehingga maknanya
relatif berubah.) Contoh diakronik adalah kata ‘bapak’. Dahulu, kata ‘bapak’
digunakan pada seorang laki-laki yang mempunyai hubungan darah (dengan
anaknya), sedangkan sekarang kata ‘bapak’ dapat digunakan pada seseorang yang
tidak mempunyai hubungan darah sekalipun, belum tua, dan bahkan belum menikah,
misalnya ‘Bapak guru’, ‘Bapak walikota’, ‘Bapak camat’, dsb.
3. Beda
bentuk, beda makna. Contoh kata ‘bisa’ dan ‘dapat’, di mana arti keduanya
bersinonim. Akan tetapi, setelah keduanya mendapatkan proses morfologis,
misalkan afiksasi ‘peN- + -an’, sehingga bentuknya menjadi ‘pembisaan’ dan
‘pendapatan’. Jelas sekali kata ‘dapat’ yang diberi proses morfologis itu lebih
berterima daripada kata ‘bisa’ setelah mendapat proses morfologis.
4. Setiap
bahasa memiliki sistem semantik sendiri. Contoh: Kata ‘pipis’, dalam Bahasa
Sunda kata tersebut berarti ‘air kencing’, tetapi dalam Bahasa Bali kata
tersebut berati ‘uang jajan’. Contoh lainnya yaitu ‘kodok’, dalam Bahasa Sunda
berarti ‘mengambil sesuatu dari sebuah lubang yang dalam’, sedangkan dalam
Bahasa Indonesia berarti ‘katak’.
5. Makna
berkaitan dengan pandangan hidup/budayanya. Pada poin ini berkaitan dengan tabu
atau tidaknya penggunaan kata tersebut di suatu masyarakat. Contoh kata
‘anjing’, bagi orang Islam kata ‘anjing’ dapat dimaknai sebagai sesuatu yang
bernajis, tetapi bagi orang Kristen dapat dimaknai sebagai hewan yang lucu dan
menggemaskan. Contoh lainnya yaitu kata ‘momok’, bagi masyarakat Indonesia
(umum) kata tersebut berarti sesuatu yang menakutkan, tetapi bagi masyarakat
Sunda kata tersebut berati vagina. Satu contoh lagi yaitu kata ‘butuh’, bagi
masyarakat Indonesia (umum) kata tersebut berati ‘perlu’, tetapi bagi
masyarakat di Kalimantan dapat berarti ‘nama kemaluan pria’.
6. Luasnya
bentuk ≠ luasnya makna. Secara bentuk, semakin lebar (kata-kata yang digunakan)
maka semakin sempit maknanya, begitu sebaliknya. Contoh:
Kereta
Kereta
Kereta api
Kereta api ekspres
Bandingkan makna kata
‘kereta’ dengan makna yang terkandung dalam ‘kereta api ekspres’. Secara
bentuk, kata ‘kereta’ lebih simpel daripada ‘kereta api ekspres’. Akan tetapi
secara makna, makna ‘kereta’ masih terlalu luas, apakah yang dimaksudkan itu
kereta api atau kereta uap, atau kereta apa? Sedangkan makna ‘kereta api
ekspres’ sudah jelas berarti kereta api khusus yang lajunya lebih cepat dan
fasilitas serta pelayanannya lebih baik daripada kereta api ekonomi.
C. Penamaan
dalam Semantik
Penamaan dalam semantik
ini ada 8 penyebab yaitu:
1. Peniruan
bunyi; contohnya ‘tokek’ disebut demikian karena bunyi hewan tersebut adalah
‘tokek-tokek’. Penamaan sesuatu berdasarkan peniruan bunyinya disebut
ONOMATOPE.
2. Penyebutan
bagian; contoh “Ibu membeli empat ekor ayam” yang dimaksud kalimat tersebut
pastilah bukan hanya ekor ayamnya saja yang dibeli ibu, tetapi ayam secara
keseluruhan.
3. Penyebutan
sifat khas; contoh ‘si kerdil’ karena anak tersebut tetap berbadan kecil, tidak
tumbuh menjadi besar.
4. Penemu
dan pembuat; contoh ‘Aqua’ dan ‘kodak’, kalau kita mau membeli air minum dalma
kemasan, pasti kita akan berkata, “Pak, beli Aqua satu botol.” Padahal di toko
tersebut tidak ada air minum kemasan bermerek Aqua. Demikian juga dengan ‘Kodak’
yang merupakan nama merek sebuah kamera.
5. Tempat
asal; contoh kata ‘magnet’ berasal dari nama tempat Magnesia, nama burung
‘kenari’ diambil dari asal burung itu berada yaitu Pulau Kenari di Afrika, ikan
‘sarden’ berasal dari Pulau Sardinia di Italia. Ada juga nama piagam atau
perjanjian-perjanjian besar seperti ‘Piagam Jakarta’ karena tempatnya di
Jakarta, ‘Perjanjian Linggarjati’ karena pelaksanaan perjanjian tersebut di
Linggarjati.
6. Bahan;
contoh nama karung ‘goni’ karena bahan karung tersebut dari goni, dan ‘bambu
runcing’ karena benda tersebut terbuat dari bambu dan ujungnya runcing.
7. Keserupaan;
perhatikan contoh ‘kaki’, ‘kaki gunung’, ‘kaki kursi’, dan ‘kaki meja’, hal
yang sama dari empat contoh tersebut adalah letaknya, di mana letak kaki selalu
ada di bawah. Contoh lain misalnya ‘kepala’, ‘kepala masinis’, ‘kepala
sekolah’, dan ‘kepala surat’, hal yang sama pada kata-kata tersebut yaitu
letaknya, di mana letak kepala selalu berada di atas, ‘kepala surat’ selalu
diletakkan di bagian atas kan?
8. Pemendekan;
contoh ‘UPI’ menjadi nama sebuah universitas negeri di Bandung, padahal namanya
bukan UPI, tetapi Universitas Pendidikan Indonesia. Contoh lain yaitu ‘cireng’
yang menjadi nama sebuah makanan ringan, ‘cireng’ merupakan kependekan dari
‘aci digoreng’.
D. Aspek
Makna
Aspek
makna dibedakan atas empat macam yaitu pengertian (sense), perasaan (feeling),
nada (tone), dan maksud atau tujuan (intention). Pengertian sense sama dengan
tema. Perasaan berkaitan dengan sikap pembicara terhadap apa yang sedang dibicarakan
serta bagaimana situasi pembicaraan saat itu. Nada adalah sikap pembicara
terhadap lawan bicaranya. Maksud adalah hal yang mendorong pembicara untuk
mengungkapkan satuan-satuan bahasa. Contohnya yaitu “Hari ini panas”, apabila
orang yang diajak berbicara itu menanggapinya dengan hal lain seperti meminta
minum, maka akan berbeda pula dengan maksud di penutur (hanya memberi tahu
bahwa hari ini cuacanya panas).
6. Penutup
1.
Simpulan
Hubungan
antara leksem dengan acuannya bersifat arbitrer dan setiap bahasa memiliki
sistem semantik sendiri. Salah satu objek kajian semantik adalah kalimat,
sehingga semantik ini sering disebut makna kalimat.
Semantik
diatur oleh kaidah kebahasaan (tatabahasa), sedangkan pragmatik dikendalikan
oleh prinsip komunikasi. Jadi, kajian makna dalam semantik lebih objektif
daripada pragmatik, karena hanya memperhatikan makna tersebut sesuai dengan
makna yang terdapat dalam leksemnya.
Kajian
makna pragmatik dapat dikatakan lebih subjektif, karena mengandung
konteks/memperhatikan konteks.
Semantik
bersifat konvensional, sedangkan pragmatik bersifat non-konvensional. Dikatakan
konvensional karena diatur oleh tatabahasa atau menggunakan kaidah-kaidah
kebahasaan.
2. Saran
Saya mengharap kritik dari semua untuk lebih membangun
artikel saya yang selanjutnya untuk menjadi karya yang lebih baik lagi. Jika
ada tutur tulisan yang salah atau tidak berkenan dihati kami mohon maaf.
7. Daftar Rujukan